Minggu, 18 Mei 2008

KELAHIRAN kembali setelah MATI

S EBELUM benar-benar meninggat dunia pada tahun 2003 lalu. penulis Ensiklopedi Kens Bam-bang Harsrinuksmo mengalami penstiwa yang arang dlalami orang lain. Daiam budaya Cina, Bambang dikatakan mengalami apa yang disebut orang sebagai tut-tsi. Sebuah proses kelahi-ran kemball setelah mati. Orang yang mengalami tut-tsi dipercaya mengem-ban lugas atau misi tertenlu dari Tuhan. Perisliwa tut-tsi ini dialami Bambang Harsrinuksmo setelah ia menderita sakit selama setahun lebih dan bahkan sempat koma. antara akhir tahun 1995 sampal awaf 1997
Berikut int( adaiah penuturan ter-tulls Bambang Harsrinuksmo pada naskah awal buku otobiogralinya yang betum sempat terblt. Naskah ditulis pada lahun 2003. benudul Bambang Harsrinuksmo; Orang Biasa. Proses "mati"' dan lanir kemball Itu dituliskan dalam judul tulisan, Siapa Saya?
Ketika mala saya terbuka, yang pertama kail tcrlihat adaiah langilla-ngit darl bahan asbes berwama putih. Pandangan mata saya makin ke bawah, terlihat seorang perempuan meman-dangl saya. Dart pandangannya, saya kira dia mengenal saya. Tetapi..., siapa dia? Dan.... siapa saya?
Pikiran saya kosong sama sekali waktu itu. Putih, kosong. Seandainya ada sesuatu yang ada dl pikiran. Peian-pelan. muncul di memori ingatan saya. suasana dan pemandangan yang be-glnl Ini. rasanya adaiah suasana rumah sakit. Saya berbaring, dlkelilingi gordm, sebuah meja kecll di sebelah kanan ran-jang. di atasnyaada termos, botol berisi air putih dan beberapa benda lainnya.
Pasti ini rumah sakit. Dan. karena saya yang berbaring, tentulah saya yang sakit. Mestinya, perempuan yang duduk dl tepl ranjang itu adaiah Istri saya. Istri? Saya sudah punya istri? Lalu apa saya juga punya anak?
Berbarengan dengan munculnya beragam pertanyaan itu, memori di otak saya rupanya mulai menyusun rang-kaian data yang terserak. Pelan-pelan. logika saya Jalan, lalu ingatan mulai ter-susun. "Kamu siapa?" tanya saya pada perempuan itu.
Dia bukan menjawab. tetapi lang-sung memeluk saya dengan tangisnya. Dalam dekapan hangal itu, hati saya bersorak girang: "Benar! Dia istri saya," Tentunya tadi duduk dl tepi ranang ini karena sedang menunggul saya yang sedang sakit. Sakit apa saya?
Badan saya rasanya segar. walau-pun waktu itu saya uga merasa agak lemah. Tetapi saya tidak merasa puslng, tidak mual. tldak ada keluhan apa-apa.
Pikiran saya berjalan lagi. Kaiau perempuan itu istri saya, siapa na-manya? Melihat penampilannya, ia su­dah tidak muda lagi. jadi mestinya kaml sudah punya anak. Tetap berapa anak saya? Laki-laki apa perempuan? Lalu, siapa saja nama mereka?
Saya merasa telah kehilangan me­mori saya, sehingga rasanya otak saya seperti disket atau hardisk kosong, karena datanya telah terhapus Waktu saya membuka mata tadl, bahkan nama sendiri pun tidak ingat.
Lalu anak saya Soni bercenta, em-pat hari sebelum ini saya dibawa dengan ambulans dari RS Polri Kramatjatl ke RS Mitra Keluarga dl Jatinegara untuk di­scard otak saya. Kaianya saya meronta ronta sambil marah-marah saat dima-sukkan dalam tabung scan. Soal int pun, saya sama sekali tidak ingat.
Setelah merasa bahwa otak saya mulai bekerja normal, saya mencoba merekonstruksi apa yang telah saya alami pada hart terakhir sebelum saya masuk rumah sakKetika kemudian saya merasa sadar dan terbanng di rumah sakit, itu ternya-ta sudah enam Man kemudtan. Sampat saat naskah mi saya tuils, tahun 2003. tujuh tahun kemudian, saya merasa ti­dak sadarkan diri sejak tanggal 9 hing-ga 15 September 1996.
Namun menurut istri dan anak-anak saya, selama enam hari itu saya tetap sadar dan dapat diajak berkomunikasi. Mereka bercenta banyak hal mengenat diri saya, tetapi saya tetap tidak blsa mengingatnya.
R UMAH Sakit Persahabatan, Rawamangun, akhir Mei 1996. Setelah mengalami kenaikan suhu badan yang tinggi. akhirnya saya be-rada daiam keadaan koma. Menurut is­tri saya. pada saat itu seluruh keluarga praktis sudah hampir kehilangan hara-pan. Nafas saya bunyinya seperti orang ngorok. mate saya hitamnya sudah memballk ke atas, sudah tidak dapai diajak berkomunikasi.
Selain anak istri, bapak Manggarai dan adik-adik saya juga sudah dipang-git untuk hadir pada "saat-saat terakhir". Untuk mengurangi suhu badan yang tinggi, tubuh saya ditelanjangl. Adik bungsu saya Irawan mengguyur alkohoi dl sekujur tubuh saya. Dalam keadaa" seperti itu, saya sudah tidak merasakan apa-apa lagi...

Putus sudah hubungan saya dengan dunia ini. Saya merasa seperti berada dt sebuah ruang oengap. tertutup dan oenuh asap yang baunya tidak enak. Ruangan itu serupa lorong atau gua oanjang dengan dlnding dari batu pa-das. Cahaya yang menerangi ruangan itu hanya berasal dari bara api yang ber-serakan dl mana-mana.
Suara yang terdengar hanyalah ra-ungan kesakitan, jerit ketakutan, erang-an orang yang menahan sakit. suara rantai di kaki yang diseret-seret. ber-sahut-sahutan dan tumpang Undih silih berganti. Pemandangan menyedihkan, menakutkan, mengharukan, dan memi-tukan terlihat dimana-mana. di sepan-lang lorong pengap itu.
Saya melshat orang-orang disiksa. atau menyiksa dm. Tidak ada algojo. Akan tetapi bola api menyambar-nyam-bar membakar kepala laki-laki dan perempuan. Ada perempuan membetot lidahnya sendiri. lalu memotong-mo-tongnya dengan kukunya. Ada orang duduk di bara api. lalu berteriak kesaki­tan sambil cepat-cepat berdin. tetapi kemudian duduk lagl di bara api itu. Terus diulang-ulang perbuatan itu, se~ hingga bau daging hangus tercium oleh saya, berbarengan dengan bau anyir nanah dan bebauan tak sedap lamnya.
Selama melihat dan merasakan sua-sana itu, hati dan pikiran saya kacau balau. Ada desakan-desakan dalam hati yang ingin agar saya segera bisa pergi dari tempat itu. tetapi ada pula desakan lainnya yang menginginkan segela keke-jian itu dthentikan.
Akhirnya saya condong pada de­sakan yang kedua. "Ya Allah, ya Tu-hanku. saya memohon kepadaMu, hen-tikan siska dan kekejian itu. Kasihani mereka. Ampuni dosa-dosa mereka." saya berdoa dalam hati.
Tiba-tiba dinding bagian atas ruang­an itu merekah dan dengan cepat ter-buka lobar. Cahaya yang amat terang, tetapi tidak menyilaukan seketika me-manuhi sekitar saya. Henmg sejenak. Seakan waktu berhenti. Dan. sesaat kemudian dan kejauhan ada ratusan,
mungkin bahkan ribuan benda mela-yang-layang tidak beraturan mendekati saya. Benda yang melayang itu seperti daun gugur ditiup angin itu makin dekat. dan ternyata adalah ratusan lembarpas-foto. kira-kira ukuran 4X6 cm.
Selembar pasfoto melayang men-dekat. lalu berhenti sekitar setengah detik, begitu dekat sehingga saya dapat mengamati gambar siapa yang ada di situ. Bukan famili. bukan keluarga, akan tetapi sahabat dekat saya: Moham­mad Sugiharto. Pasfoto itu melayang lagi menjauhi saya, dan pasfoto yang lain mendekat, lagi-lagi foto Sugiharto. Demikian berulang kali, mungkin sam-pai belasan kali.Setelah ratusan pasfoto Itu perlahan-lahan menjauh, cahaya yang tadi sangat terang makin mere-dup. Suasana saya rasakan makin da-mai. makin tenteram di hati. Sebentar kemudian, saya tersadar...
H INGGA sekarang saya tidak tabu. apa anl segala yang saya llhat dan saya rasakan ketika saya berada dalam keadaan koma itu. Jelas bahwa apa yang saya lihat dan saya rasakan ketika itu terjadi atas kehendak Tuhan. Tetapi apa maksudnya?
Apa yang saya saksikan ketika dalam keadaan koma itu, sepertinya bukan mimpi, karena setelah saya sadar rasanya telinga saya masih mendengar suara rantat kaki yang diseret-seret. serta nntihan orang kesakitan. Saya tanyakan pada Dik Nuk, isteri saya. dan Son) anak saya. Apakah mereka men­dengar? Jawab mereka: tidak.
Mungkin rintihan kesakitan itu me-mang benar-benar ada, karena bagai-mana pun tempat itu adalah rumah sakit. Jadi, bisa saja pasien di kamar sebelah yang merintih Tetapi bagaima-na dengan suara rantai besi itu?
Saya yakin saya tidak bermimpl. Tetapi kenapa orang lain di sekitar saya tidak? Jika begitu, tentulah saya men­dengar segalanya Itu dengan telinga batin saya. Demikian pula, apa yang saya saksikan, saya rasakan, dan saya clum dl ruangan yang penuh slksa itu
Saksi Mata
adalah sesuatu hasil dan indera yang lain, yang bukan panca indera.
Saya berpendapat. selain panca in­dera penglihatan. pendengaran, pencl-uman, perasaan, dan peraba, manusia uga diberl penglihatan batin, pende­ngaran batin, dan panca Indera batin lainnya. Itulah sebabnya orang lain tidak merasakan apa yang saya rasakan.
Lalu apa artinya semua itu? Menga-pa saya harus mengalaminya? Saya ti­dak tahu. Mengapa selama enam hari pertama di Rumah Sakit Poln saya ke-hllangan kesadaran, kehilangan memo-n. tetapi selama enam hari itu kata mereka saya masih tetap sadar? Lalu apakah pada tubuh saya yang hanya satu ini ada dua "saya"? Saya yang satu tidak sadar. dan pada saat yang sama. ada saya yang lain yang tetap sadar?
Lalu manakah saya yang sebenar-nya di antara dua "saya" itu? Apakah yang tetap sadar, ataukah yang me-ngalami black out selama enam hari? Karena saya penganut Islam, dan Islam tidak mengakui adanya reinkarnasi. ber-arti soal tut-tsi itu hanya cukup saya dengar, tidak harus saya percaya.
Saya anggap bahwa tidak semua yang terjadi pada din saya, harus saya ketahul dan saya mengerti Ada bagian-bagian dan pengalaman dan seiarah hidup saya yang tidak akan dapat saya lelaskan. Karena saya sendih memang tidak tahu, dan tidak mengerti. Saya anggap itu sebagai rahasia Tuhan. yang mungkin akan saya mengerti nanti. en-tah kapan. karena izin dan hdlo lllahi.
Setelah terbebas dan suasana pe­ngap yang mengerikan di ruangan se­perti gua itu. mengapa yang muncul jus -tru ratusan pasfoto Sugiharto. sahabat saya? Mengapa bukan keluarga saya? Bukan bapak. atau ibu misalnya. Dan mengapa harus dalam bentuk pasfoto hitam putih yang tepmya bergerigi?
Soal inipun juga saya anggap seb­agai rahasia Tuhan.

Tidak ada komentar:

www.flickr.com